Rabu, 12 Juni 2013

Rebutan Tapal Batas Antar Desa,Haruskah Terjadi?



Berita tentang perebutan batas wilayah bukanlah hal yang baru.Kasus tersebut sangat sering terjadi,baik di tingkat desa,kecamatan,hingga negara.



Masih hangat dalam benak kita,kasus perebutan wilayah ambalat antara indonesia dengan malaysia,kesenian indonesia seperti reog ponorogo yang sukses di akui sebagai milik malaysia,lagu daerah 'rasa sayange' dan lain-lain.


Hal yang sama juga terjadi di kota jambi.Perebutan wilayah pulau berhala antara propinsi jambi dengan propinsi Kepulauan riau juga tak dapat di hindari.



Pihak propinsi jambi mengatakan bahwa pulau berhala sudah turun temurun menjadi tanah melayu jambi sesuai dengan nama tokoh jambi,Datuk Berhalo.Sebaliknya pihak Kepulauan Riau juga bersikeras bahwa pulau berhala adalah bagian dari wilayah mereka karena masyarakat di sekitar pulau berhala lebih cenderung memilih kepri sebagai bagian hidup mereka.Tidah hanya itu,setiap pihak memiliki bukti-bukti yang kuat sebagai dasar kepemilikan mereka terhadap pulau berhala.Setelah melalui proses perundingan yang panjang akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pulau berhala menjadi milik kepri.

Yang lebih menarik dan menjadi perhatian ku adalah ternyata perebutan tapal batas tersebut juga terjadi di desa ku beberapa waktu yang lalu.Fenomena inilah yang memotivasi ku untuk menuliskannya di blog,menganalisanya secara objektif dari sudut pandangku sebagai seorang warga..

Desa ku,Olak R*mbahan (OR) berbatasan langsung dengan desa Ka*s (K).Kedua desa tersebut terletak di kecamatan pemayung,kabupaten batanghari,jambi.Sebenarnya warga antara kedua desa ini masih banyak yang saling bersaudara.Itu artinya,Banyak warga di desa K yang mempunyai saudara di desa OR.Dari sisi perekonomian kedua desa itu sebenarnya juga saling membutuhkan.

Aku sebagai salah satu warga desa OR justru menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di desa K yang notabene merupakan tetangga desaku.Pada saat itu antar warga kedua desa juga saling menghargai satu sama lain.Ini membuktikan kerukunan antar kedua desa tersebut begitu terjaga.

Namun saat yang tidak di inginkan itupun tiba...fenomena perebutan tapal batas telah menghancurkan nilai-nilai sosial yang selama ini sudah di bangun.Sikap sopan santun,tata krama,senyuman,sempat menjadi hal yang langka.Rasa persaudaraan sempat terancam,ketika sikap merasa paling benar menguasai diri setiap warga.

Di tambah lagi semangat persatuan yang di salah artikan.Warga desa merasa terpanggil untuk saling mempertahankan hak batas desa nya.Puncaknya,beberapa warga dari salah satu desa sepakat melakukan sabotase dengan cara memutus jalan penghubung kedua desa tersebut.Ini sudah kriminal namanya.Apabila di biarkan bukan hal yang mustahil kasus ini akan menjadi lebih besar lagi.Untuk mengatasi hal tersebut upaya mediasi antar warga kedua desa sudah beberapa kali di lakukan namun sepertinya menemui jalan buntu.

Yang menjadi pemikiranku saat ini,upaya yang belum selesai dan masih menemui jalan buntu tersebut bisa saja menjadi bumerang di kemudian hari.Sewaktu-waktu kasus tersebut bisa saja timbul.Oleh karena itu perlu di bangun kesadaran dari setiap warga tentang apa yang sebenarnya menjadi hak dan kewajiban sebagai warga desa.Dan,yang lebih penting lagi adalah penjelasan tentang dampak negatif yang akan timbul dari kasus perebutan tapal batas tersebut.

Aku sebagai salah satu warga berfikir mengapa hal ini harus terjadi.Tidak sadarkah kita dengan dampak negatif yang akan timbul jika kasus ini di biarkan berlarut-larut?.Mengenai tapal batas yang pada akhirnya nanti lebih memperluas peta desa OR atau peta desa K itu bukanlah menjadi pokok masalah.Yang perlu di pikirkan adalah kesejahteraan warga harus tetap di utamakan.Bukankah lebih baik wilayah tersebut menjadi milik desa tetangga,asalkan sumber daya alam di perbatasan itu di olah secara maksimal dan warganya pun bisa hidup lebih sejahtera???.

Kita ambil analogi dengan kasus yang terjadi antara jambi dan kepri.Untuk apa pulau berhala menjadi milik kita,masyarakat jambi,jika warga dan sumber daya alam yang ada di pulau berhala tidak kita perhatikan.Lebih baik pulau berhala menjadi milik kepri yang penting kehidupan warga yang tinggal di pulau berhala lebih sejahtera.Bukankah demikian?

Memang tidak kita pungkiri,kebanyakan dari kita mengidap penyakit akut tentang egoisme dalam bermasyarakat sejak kecil.Di tambah lagi sikap serakah dari berbagai pihak,seperti oknum pemerintah yang rela mengorbankan warganya demi keuntungan pribadi.bahkan oknum tersebut bisa saja datangnya dari sebagian warga masyarakat itu sendiri.

Prinsip semua harus menjadi milik kita,Hak lebih kita utamakan daripada menjalankan kewajiban,itulah penyakit sebagian dari kita selama ini.Jika wilayah yang kita miliki sudah luas,pada akhirnya kita sendiri tak mampu mengolahnya.Jika di ambil orang lain untuk di manfaatkan baru kita kelabakan,merasa di dzolimi,dsb.Akhirnya sifat kita yang merasa paling benar menimbulkan gesekan negatif dalam hidup bermasyarakat.dan ini terbukti dengan kejadian tersebut.

Jadi,menurut hematku adalah bukan seberapa luas desa kita,bukan karena faktor turun temurun kita tinggal di sana lalu kita perjuangkan agar tetap menjadi tanah desa kita,tetapi yang lebih penting adalah bagaimana caranya warga desa yang tinggal di perbatasan lebih sejahtera hidupnya.Kerjasama yang sinergis antar kedua desa untuk saling memajukan warganya itu yang seharusnya di utamakan.

Kita sebagai warga sebaiknya jangan gampang terprovokasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.Sebaiknya introfeksi diri kita ,apakah sudah menjadi warga desa yang baik?.Masih banyak hal lain yang bermanfaat yang bisa kita lakukan daripada sekedar rebutan tapal batas desa.Mengutamakan  pelaksanaan kewajiban kita sebagai warga itu lebih baik daripada sekedar menuntut hak.Jika itu kita lakukan tentu kehidupan dalam hidup bermasyarakat menjadi lebih tentram.Kita semua adalah bersaudara.Aku berharap semoga kedepannya hubungan kedua desa semakin membaik.Amin







Tidak ada komentar:

Posting Komentar